Graffiti Action “Sebuah Kontroversi Antara Seni, Perlawanan dan Vandalisme”
"Berasal dari bahasa Yunani “Graphein” (menuliskan), yang bisa diartikan sebagai sebuah coretan gambar atau kata-kata pada dinding atau permukaan ditempat-tempat umum, atau tempat pribadi”
Dinding dan graffiti
Diding memang menjadi satu media utama bagi para seniman graffiti. Aktifitas menulis di dinding sudah menjadi satu budaya sejak jaman primitive. Digunakan sebagai sarana komunikasi, bahkan juga digunakan untuk menggambarkan mistisme dan spiritual manusia pada massa itu. Tentu saja berbeda alasanya, kenapa pada masa primitive, dinding digunakan sebagai medianya. Kain atau kulit tentunya lebih penting digunakan sebagai pelindung tubuh, daripada untuk dicorat-coret. Materi yang digunakan untuk mencorat-coret pun juga sangat sederhana. Arang, kapur atau batu adalah salah satu bahan materi, dengan objek yang umumnya menggambarkan binatang atau gambar tentang perburuan.
Namun dibalik satu kesederhanaan dari graffiti pada masa itu, baik materi dan medianya, bahkan juga tujuanya. Tetapi telah menyumbangkan satu bentuk catatan sejarah yang menggambarkan kondisi dan perilaku social pada masa itu. Mewariskan satu bentuk ekspresi seni, ternyata juga ditinggalkan oleh graffiti-graffiti, yang kemudian sampai sekarang ini hal tersebut masih dilakukan.
Perkembangan zaman dan perubahan tatanan masyarakat ternyata memberi dampak yang cukup besar bagi perkembangan seni graffiti. Graffiti telah bertranformasi dari yang awal mulanya hanya sebagai satu media komunikasi, lambat laun berkembang menjadi satu media perlawanan dan protes. Usai musnahnya zaman primitive, dan muncul dan berkembangnya peradaban manusia hingga pada akhirnya peradaban manusia terpisahkan dalam bentuk kelas-kelas, dan membuat satu kelas tertentu menindas kelas yang lain. Graffitipun mengalami perkembangan. Berbagai cara dan metode perlawanan dari pertentangan kelas tersebut, graffiti hadir menjadi salah satu medium perlawanan, yang memberikan satu warna tersendiri. Tak sekedar sebagai bentuk baru dalam perlawanan, graffiti juga menjadi media penyampaian kesadaran dan pembelajaran, serta ajakan untuk melihat kondisi realitas social yang ada, dalam bentuk yang penuh dengan keindahan seni. Contohnya adalah pada masa kekuasaan romawi yang begitu besar, yang berakibat semakin lebar dan jelasnya pembentukan kelas dalam masyarakat social. Disana pula ternyata sudah ada bentuk graffiti yang sudah berfungsi sebagai bentuk protes.
Arang dan kapur sebagai material dalam melakukan graffiti telah berganti menjadi cat, dan sampai saat ini telah berubah mencadi cat semprot, tak membuat dinding di tinggalkan sebagai media dari material tersebut. Dengan beralih fungsinya graffiti yang tidak sekedar sebagai alat komunikasi tetapi juga telah menjadi alat perlawanan, maka dinding tetap menjadi media utamanya. Khusunya dinding-dinding yang berada di tempat-tempat umum. Menjadi satu perhatian dan dilihat banyak orang, sehingga memberikan satu pengaruh yang lebih luas dari pesan yang hendak disampaikan oleh graffiti. Terlebih dinding pada masa kini telah berperan menjadi sebuah pemisah dan memberikan batas-batas dari kehidupan social manusia. Adalah kenapa tidak berubahnya dinding sebagai medianya.
Antara seni, perlawanan dan vandalisme
Seni adalah satu bentuk ekspresi kreatif manusia. Seni juga sangat sulit diartikan atau dinilai. Setiap individu, baik sang seniman ataupun penikmat seni itu sendiri, bisa membuat satu parameter untuk menentukan nilai dan artian dari sebuah karya seni. Ini menunjukan bahwa kebebasan adalah tuhan dari seni itu sendiri.
Pada massa modern sekarang ini, graffiti pun mengalami satu perkembangan dalam tujuanya. Untuk menunjukan satu identitas pribadi, seperti yang dilakukan oleh seorang Amerika yang bernama Taki. Yang selalu menuliskan namanya, entah itu didalam kereta atau di dinding bis kota, yang kemudian membuat Taki menjadi terkenal. Hal tersebut kemudian diikuti oleh banyak anak muda disana, yang seperti terinspirasi oleh Taki, karena hanya dengan melakukan coretan nama ditempat-tempat umum, maka dengan mudah dapat menjadi terkenal. Graffiti juga dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang sekali lagi hanya bermotifasi untuk dapat menjadi dikenal kelompoknya.
Mutasi motifasi ini tak bisa kita katakan sebagai sesuatu yang bukan seni. Bukan pembenaran, bahwa seni itu adalah kebebesan. Namun bisa juga kita katakan, kalau corat-coret di tempet umum yang hanya sekedar unutk menunjukan satu identitas saja adalah bentuk seni juga. Walaupun mungkin dalam satu levelan yang berbeda.
Sedikit berbeda bentuk dari coretan cat semprot yang dihasilkan oleh pelaku graffiti yang bermotifasi untuk memperkenalkan identitas pribadi atau golonganya, dengan pelaku yang melakukan graffiti sebgai media propaganda atau kritik atas satu kondisi sosial yang ada. Umumnya pelaku graffiti yang menjadikan graffiti sebagai media perlawanan dan penyadaran, dalam graffitinya selalu meninggalkan pesan-pesan bagi orang yang melihatnya. Sehingga hasil dari coretan tersebut pun, bukan sekedar kata-kata atau tulisan. Namun juga banyak menampilkan gambar-gambar, yang kemudian diolah sedemikian rupa, sehingga juga terlihat sebagai sebuah ekspresi kreatif. Kalaupun bentuk penyampaianya hanya berupa tulisan atau coretan, namun ketika coretan tersebut mempunyai makna, pesan atau kritik sosial, maka makna, pesan ataupun kritik sosial dari coretan tersebut adalah sebuah bentuk seni tersendiri. Karena seni itu sendiri, dalam bentuknya yang luas akan selalu meningggalkan pesan.
Dan graffiti yang merupakan satu dari sekian banyak farian dalam bidang seni. Namun dinding dan tempat umum yang digunakan sebagai media seni dari graffiti, membuat banyak orang tidak menganggap itu sebagai seni, melainkan melihat graffiti sebagai sebuah perilaku yang merusak sarana dan kepentingan public.
Vandalisme, adalah satu stigma yang sering diungkapkan orang terhadap pelaku graffiti maupun graffiti itu sendiri. Pada hakekatnya, vandalisme sendiri merujuk pada perusakan atas barang milik orang lain termasuk juga barang yang diperuntukan untuk kepentingan public. Namun vandalisme mempunyai aspek emosi dalam melakukanya. Geram dan kesal atau bahkan hanya sekedar untuk melepaskan kebosanan semata, adalah motif dari vandalisme. Jelas memang, ketika merusak kepentingan publik dengan muatan emosi sebagai satu motifasinya, maka bisa kita katakan dia sebagai bentuk dari vandalisme. Terlebih, pelampiasan dan perusakan tersebut tidak mengekspresikan perlawanan atas sebuah sistem atau struktur, tanpa sebuah tujuan atau bagian dari sebuah strategi perlawanan, atau bahkan tidak meninggalkan satu pesan. Berbeda dengan graffiti yang menjadi bagian dari seni, yang lebih menekankan pada unsur penyampaian pesan dan kebebasan berekspresi.
Memang tidak bisa kita jadikan pembenaran, bahwa kebebeasan berekspresi bisa disampaikan dengan media apa saja temasuk dinding dan sarana publik sebagai medianya. Namun juga harus kita perhatikan dewasa ini, untuk mendapatkan sarana melampiaskan ekspresinya, seniman harus banyak mengeluarkan uang. dan mengeluarkan uang untuk berekspresi, ternyata tidak mampu dilakukan oleh para seniman jalanan. Maka digunakanlah dinding sebagai media mereka, selain pertimbangan utama bahwa sarana tempat-tempat umum adalah media yang paling tepat untuk digunakan dalam graffiti, karena graffiti harus meninggalkan pesan yang seharusnya pula dilihat oleh banyak orang.
Tidak sedikit memang orang yang masih menganggap graffiti sebagai sebuah perilaku vandalisme, hanya karena media yang digunakan adalah sarana publik. Namun juga banyak orang yang melihat graffiti merupakan sebuah bentuk ekspresi seni, yang jauh lebih baik ketimbang dinding-dinding dipenuhi dengan pesan-pesan komersial. Dan sekali lagi, graffiti juga patut kita hargai sebagai karya seni. Dan perbedaan pandangan tersebut mungkin menjadi pembenaran bahwa graffiti merupakan sebuah kontroversi.
Graffiti action sebagai sebuah komoditi
Tak bisa dipungkiri, bahwa graffiti action telah menjadi satu fenomena tersendiri di masyarakat. Khusunya bagi anak muda yang umumnya menjadi pelaku graffiti. Terlepas maksud dan tujuan dari graffiti action tersebut, baik yang pure seni ataupun yang memang ditujukan sebagai bentuk protes. Namun hal ini seperti sudah menjadi satu trend tersendiri dikalangan anak muda.
“Pasar” memang mempunyai mata dimana-mana. Dimana dia melihat fenomena dan besarnya antusias akan sesuatu hal, maka dia akan menjadikan hal itu sebagai komoditi untuk mendapatkan keuntungan baginya. Contoh sederhanya adalah game play station yang bertemakan graffiti action, walaupun mungkin tidak terlalu laku dipasaran. Namun “pasar” telah memperlakukan graffiti sebagai sebuah komoditi. Tak ada larangan memang mengenai hal ini, mengenai apa yang hendak dilakukan oleh “pasar” itu.
Karena kondisi seperti ini mempunyai dua sisi yang berbeda bagi graffiti. Graffiti akan menjadi sangat banyak peminat atau pelakunya, namun disisi lain graffiti seolah-olah telah menjadi barang dagangan. Untuk yang kedua, tentunya sangat buruk dampaknya bagi graffiti. Karena graffiti, seperti halnya hakekat dari seni yang bertujuan untuk ekspresi bebas dan tidak untuk diperjualbelikan. Jika hal ini terus berlanjut, mungkin kita tak akan heran satu saat, untuk melihat graffiti action harus mengeluarkan sejumlah uang.
Dan yang mampu untuk melakukan perlawanan terhadap proses penghianatan terhadap graffiti sebagai seni, yang seharusnya tidak diperjualbelikan adalah graffiti itu sendiri. Pada saat yang sama, maka graffiti yang sejati akan melakukan perlawanan atas kondisi ini. Dinding jalan akan semakin penuh dengan coretan, tembok-tembok publik pun akan sesak dengan berbagai macam tulisan atau gambar bernada protes. Tak hanya protes terhadap kondisi dimana graffiti menjadi komoditi, tapi juga protes terhadap sistem yang membuat graffiti menjadi komoditi.
Dan ketika protes itu telah sampai kepada titik perlawanan terhadap sistem, maka graffiti tidak akan berjalan sendiri. Dia akan diiringi oleh lautan manusia yang menjadi korban dari sistem ini.
Sumber : http://alfanomena.blogspot.com/
Sumber : http://alfanomena.blogspot.com/
Comments
Post a Comment