Street Artist Anti Tank

Street Artist Anti Tank

Oleh: Rini Winarsih
Berawal dari usulan nama sebuah band yang diajukan Andre kepada teman-teman punk-nya, namun ditolak. Akhirnya Anti-Tank digunakan sebagai nama dari sebuah karya seni kritis, yang dihasilkan dari ide-ide seorang  pemuda Medan.


Yogyakarta-Keadilan. Pendidikannya dimulai dari Medan, daerah Pematang Siantar. Pengalaman pertama menempel sebuah poster ketika ia masih memakai seragam abu-abu, tepat waktu ia pulang dari sekolah. Saat itu tidak ada dalam pikirannya mengenai izin untuk menempel sebuah poster. “Belum ada mikir kalau ini illegal, gak ada izinnya, orang mungkin akan marah,” ungkap Andre, sapaan akrabnya.
Andrew Lumban Gaol, seorang pemuda berumur 27 tahun yang sedang menyelesaikan Tugas Akhir di Akademi Seni Rupa dan DisainModern School of Design (MSD) Yogyakarta. Perawakannya sedang, tak begitu tinggi. Ia merupakan salah satu dari beberapa street artist. Dokumentasi dari karya-karyanya, ia kumpulkan di blog pribadi dengan alamat www.antitankproject.wordpress.com.

Pria yang berasal dari Medan ini, juga sempat membuat semacamnews letter dengan nama Zine. Isinya membahas tentang profil band, wawancara dengan seseorang, ideologi, atau gerakan dan lain-lain. “Prinsipnya (Zine) kaya media independen, siapapun boleh membuat, mengakses, dan mengedarkannya. Dan semua itu gak perlu sponsor, dari awal kita udah diajarin mandiri,” jelas Andre.
Sejarah munculnya nama Anti-Tank bermula ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas di Medan pada Tahun 2003-an, saat itu ia mengikuti komunitas anak Punk. Ia akui anak Punk di Medan berbeda dengan anak-anak Punk yang ada di Jakarta, maupun Yogyakarta karena tak sekeren anak punk Medan dulu. “Punk disana itu masih tradisional, masih ngebahas isu-isu politis,” tutur Andre.Menurutnya Punk tidak hanya sebuah gaya hidup, namun juga gerakan politis. 

Ketika itu teman-temannya mengajak untuk membuat sebuah bandPunk, dan masing-masing berpartisipasi untuk memberikan sebuah nama yang cocok buat band mereka. Andre menginginkan bakal nama band mereka terdapat subuah kata Anti-nya. Karena kata anti itu terdapat banyak sejarah di punk sendiri, misal anti-rasis, anti-kapitalisme dan lain-lain. Namun ia bingung akan dibuat nama Anti-apa.  Didapatlah sebuah nama Anti-Tank, dimana saat itu terjadi sebuah perang Amerika dan Irak.
Sayang, teman-temannya tak menyetujui nama yang diusung Andre, hingga ia keluar dan tak jadi ikut dalam personil band. Sejak itu itu ia memulai membuat poster-poster hasil buah tangannya dengan sebutan Anti-Tank.

Pada tahun 2005 Andre datang ke Yogyakarta dengan maksud ingin melanjutkan pendidikan. Orangtua menginginkan ia masuk ke jurusan Ekonomi dan sejenisnya, tapi atas saran saudara yang di Jakarta, ia mendaftar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Akan tetapi ia tidak lulus tes masuk ISI, sebab tes berkaitan tentang wayang atau candi yang tak ia kenal selama di Medan. Akhirnya, ia memilih di Akademi Seni Rupa dan Disain MSD dengan jurusan Disain Grafis. Andre memang tertarik pada bidang seni sejak masih kecil. Bahkan sebelum ia datang ke Yogyakarta terlebih dahulu mengamati hasil karya-karya poster, khususnya poster hitam putih. Termasuk hasil poster karya Taring Padi dari ISI, ia amati.

Awal datang ke Yogyakarta, kerap ia perhatikan mural yang ada di jalanan ketika hendak berangkat kuliah dengan menggunakan bis. Khususnya di Jembatan Layang Lempuyangan, ia selalu penasaran dengan siapa yang buat mural tersebut. Ketika melihat mural, ia bagai melihat sebuah galeri berjalan sebab gambar-gambarnya hampir setiap hari berubah. “Dulu mikirnya orang-orang ini baik banget ya, ngeluarin uang untuk bikin karya kayak gini kan mahal, pakai pilok, cat, dan itu besar tembaoknya, capek,” kagumnya.

Kegiatan sehari-hari Andre adalah menggarap project pameran bersama teman-temannya, menggarap project pribadi, dan jika ada lembaga atau orang yang meminta dibuatkan sebuah poster. Misal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang memintanya untuk membuatkan poster atau mural untuk menyiapkan kampanye tentang Udin yang mana kasus tersebut Tahun 2014 akan kadaluwarsa. Udin adalah seorang wartawan yang pada tahun 1996 banyak menulis tentang korupsi Bupati Bantul. Namun disuatu hari ia dipukuli di depan rumahnya hingga akhirnya ia meninggal. 

Poster-poster yang ia buat, diproduk sendiri di kamar kosnya, dan penggandaan poster biasa ia lakukan di tempat-tempat fotokopian. Baik dari proses pembuatan sampai proses penempelan poster biasa ia lakukan sendiri. Kalaupun membawa teman, hanya untuk keperluan foto yang ia gunakan sebagai arsip. Ia berkata, “Gak ada anggota, karena gak mampu bayar.”

Karyanya juga tidak hanya jenis poster, terkadang ia buat stencil, stiker, graffiti, ataupun mural. Adapun karyanya yang berbentuk mural ia kerjakan jika ada event dan biasanya ada dana, tak seperti poster-poster yang ia sebar di sekeliling Jogja dengan merogoh kocek sendiri. Resiko menempel poster di malam hari yang ia takutkan, jika tiba-tiba ada orang datang memukulinya atau dengan orang-orang yang mengendarai motor besar. “Apalagi setelah ada peristiwa di Cebongan,” tambah Andre sambil tertawa kecil. 

Adapun tujuan yang Anti-Tank inginkan ialah agar seseorang itu jangan sampai melewati sebuah kasus, seperti kasus tentang Munir, Marsinah. Harapannya ketika dibawa dengan pendekatan yang tidak sekaku Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau media hal itu bisa diterima, sehingga anak-anak muda bisa terbuka pikirannya. 

Cerita dari beberapa posternya


Terpikir olehnya untuk membuat karya-karya seni itu pada Tahun 2007, dan perasaan-perasaan tersebut selalu muncul. Ia menyadari dirinya di Jogja tidak hanya kuliah saja. Hingga akhirnya di tahun 2008, datang seorang teman dengan mangadu bahwa ia tak suka dengan tanaman Bonsai. 

Berawal dari aduan seorang teman tersebut, kemudian ia membuat sebuah poster dengan identitas Anti-Tank yang ia tempelkan di empat atau lima tempat Jalan Kota Yogyakarta. Diantaranya Jalan Taman Siswa, Janti, Galeria. Poster pertamanya di Yogyakarta adalah gambar sebuah pohon Bonsai dengan tulisan “Too many bonsai, too many destruction, litle tree, litle oxigen!” dan “Stop create bonsai! Save the tree. Litle tree, Litle oxigen!.” 


Poster yang ia tempelkan memang tak berumur panjang, hanya berusia tiga hari. Walau hanya tiga hari, poster tersebut telah banyak membuat orang penasaran siapakah orang di balik poster tersebut. Banyak yang menduga poster tersebut hasil karya Taring Padi, karena banyak kemiripan dengan karya-karya Taring Padi.
  
Pada tahun yang sama, juga terdapat peringatan kematian Munir di tahun 2003. Saat itu ia berfikir harus berbuat sesuatu, karena Munir mati itu bukan pada era-nya Soeharto tetapi di era reformasi. Poster ProjectAnti-Tank kali ini ingin membawa masyarakat untuk tetap ingat  dan tidak melupakan penyelesaian kasus Munir tersebut.





Poster untuk kasus Munir itu awalnya adalah sebuah gambar dengan tulisan “Orang benar akan dibunuh!”. Tapi dikarenakan peristiwa naas yang menimpa Andre, yaitu tertangkap tangan ketika hendak menempel poster  oleh pegawai Balai Kota, akhirnya ia memperbaharui gambar poster tersebut dengan tulisan yang baru, yaitu “Menolak lupa!” dan menghilangkan efek-efek warnanya. Ia memilih menolak lupa karena netral dan kalimatnya gak terlalu cerewet. 

 

Ada seorang temen yang mengkritik kenapa tulisannya “Menolak lupa” kenapa tidak “melawan lupa”. Ia pun menjelaskan bahwa  kata “Menolak Lupa” ini tujuannya tidak cuma bicara kasus Munir, tapi juga aktivis lain yang hilang, dibunuh, dan kasus yang belum terselesaikan yang memang butuh diekspos. Wajah Munir sendiri sebagai icon, karena Munir sendiri banyak yang mengenal. Ia juga mengatakan bahwa kata melawan, itu bahasanya aktivis atau bahasanya seniman. Sedangkan ia ingin selalu menghindari dikait-kaitkan dengan dunia aktivis dan dunia seniman. “Melawan itu butuh sumber daya yang lebih banyak daripada cuma sekedar menolak. Orang itu akan menolak dulu baru melawan, karena rentetan pikirannya memang seperti itu,” tambah pembuat poster jalanan ini.

Mengenai karyanya tentang “Bebaskan Bibit & Chandra” ia megungkapkan bahwa karya tersebut digunakan sebagai cover buku dengan judul “Korupsi Bibit & Chandra”. Dengan beberapa modifikasi atau perubahan minor pada warna, teks dan unsur visual lain, menjadi cover buku yang diterbitkan oleh O.C Kaligis.




Dari beberapa project yang ia kerjakan, ada beberapa diantaranya yaitu poster gambar Budiono “Antara ada dan Tiada” dan poster dengan tulisan “Presiden sedang rekaman, jangan diganggu”  yang baru saja muncul, keesokannya wujud  sudah tak sempurna. Kebanyakan ditutup oleh koran dan sebagian dirusak. Ia mengaku mendapatkan info dari temannya, bahwa poster-poster tersebut dirusak oleh Tentara. Kesal dengan aksi tentara, ia tempelkan poster “Tetap tenang dilarang kritik protes” tepat di samping kedua posternya tentang Budiono dan Presiden yang telah di rusak tadi.




Ketika ia sedang menempel poster peluru, datang seorang bapak yang membawa motor dengan gerobak dibelakangnya mengadu kepada Andre. “Ditempel lagi to mas? Kemaren kanpadahal sudah dirusak tentara, mereka naik truk terus bawa tangga dan nutupin posternya. Padahal itu bukan haknya to,” kata Andre menirukan dukungan bapak itu dengan semangat.


Sebuah perlawanan ataupun pengawasan terhadap suatu rezim pemerintahan yang dilakukan oleh kaum terpelajar khususnya mahasiswa, tak hanya dapat lewat demonstrasi saja, dapat pula menggunakan karya seni. Street art misalnya, media yang digunakan oleh Andre untuk menyuarakan aspirasi kaum minoritas maupun hak-hak para pejuang yang miris dilupakan. Benar bahwa ‘melawan’ tidak harus dilakukan dengan kekerasan, tetapi dapat juga dengan sebuah karya seni seperti poster, stensil, graffiti, dan lain-lain. Street art yang ia kerjakan, secara tidak langsung telah membawa khalayak untuk turut andil dalam sebuah perlawanan, demi terciptanya keadilan seperti yang diamanatkan sila kelima dalam Pancasila. 

            Menurut salah seorang mahasiswa MSD angkatan 2011, Setiawan Aningdito yang kami diwawancarai mangatakan bahwa sosok Andre itu pendiam dan tak banyak bicara kepada teman-temannya. Adapun mengenai karya-karya Anti-Tank, secara konsep menurutnya bagus. “Namanya juga untuk propaganda, pergerakan, melawan, jadi ya antara konsep dan karyanya itu nyambung,” tambah Dito, panggilan akrabnya.

            Senada dengan Dito, Ervance Dwiputra alias Epang yang juga mahasiswa MSD angkatan 2011, mengutarakan bahwa Anti-Tank merupakan satu-satunya street art di Yogyakarta yang masih menggunakan esensi dari street art itu sendiri. Street art itu bermula dari suatu bentuk aksi protes di Amerika oleh kaum kulit hitam. “Satu-satunya yang di Jogja yang masih bertahan, konsisten untuk menyuarakan suara minoritas, yang masih mengangkat esensi street art itu sendiri di jogja cuma Anti-Tank,” ungkapnya.

sumber : http://riniwinarsih.blogspot.com/

Comments

Popular Posts